ELING & WASPADA !!!!!!!
Dua buah kata populer yang berisi
pesan-pesan mendalam dan dianggap wingit atau sakral. Namun tidak setiap
orang mengerti secara persis apa yang dimaksud kedua istilah tersebut.
Sebagian yang lain hanya tahu sekedar tahu saja namun kurang memahami
apa makna yang tepat dan tersirat di dalamnya. Perlulah kiranya ada
sedikit uraian agar supaya mudah dipahami dan dihayati dalam kehidupan
konkrit sehari-hari oleh siapaun juga. Terlebih lagi pada saat di mana
alam sedang bergolak banyak bencana dan musibah seperti saat ini.
Keselamatan umat manusia tergantung sejauh mana ia bisa benar-benar
menghayati kedua pepeling (peringatan) tersebut dalam kehidupan sehari.
Sikap eling ini meliputi pemahaman asal usul dimensi ketuhanan dan
dimensi kemanusiaan.
ELING DIMENSI KETUHANAN
-
Eling atau ingat, maksudnya ingat asal usul kita ada. Dari Tuhan
dicipta melalui sang bapak dan sang ibu karena kehendak Tuhan
(sangkaning dumadi). Pemahaman ini mengajak kita untuk menyadari bahwa
tak ada cara untuk menafikkan penyebab adanya diri kita saat ini yakni
sang Causa Prima atau Tuhan Maha Esa (God). Jadi orang harus tahu dan
sadar diri untuk selalu manembah kepada Hyang Mahakuasa.
-
Eling bahwa kita harus menjalani kehidupan di mercapadha ini sebagai
syarat utama yang menentukan kemuliaaan kita hidup di alam
kelanggengan nanti, di mana menjadi tempat tujuan kita ada di bumi
(paraning dumadi). Manembah bukan hanya dalam batas sembah raga, namun
lebih utama mempraktekan sikap manembah tersebut dalam pergaulan
sehari-hari kehidupan bermasyarakat, meminjam istilah dari kitab
samawiah sebagai habluminannas. Namun di sini menempuh habluminannas
untuk menggapai habluminallah.
ELING DIMENSI KEMANUSIAAN
-
Di samping manembah kepada Tuhan. Adalah keutamaan untuk eling
sebagai manusia yang hidup bersama dan berdampingan sesama makhluk
Tuhan. Instrospeksi diri atau mawas diri sebagai modal utama dalam
pergaulan yang menjunjung tinggi perilaku utama (lakutama) yakni budi
pekerti luhur, atau mulat laku kautamaning bebrayan. Dengan melakukan
perenungan diri, mengingat atau eling dari mana dan siapa kita punya
(behave), kita menjadi, kita berhasil, kita sukses. Kita tidak boleh
“ngilang-ilangke” atau menghilangkan jejak dan tidak menghargai jasa
baik orang lain kepada kita. Sebaliknya, eling sangkan paraning dumadi,
berarti kita dituntut untuk bisa niteni kabecikaning liyan. Mengerti
dan memahami kebaikan orang lain kepada kita. Bukan sebaliknya, selalu
menghitung-hitung jasa baik kita kepada orang lain. Jika kita ingat
dari mana asal muasal kesuksesan kita saat ini, kita akan selalu
termotifasi untuk membalas jasa baik orang lain pernah lakukan. Sebab,
hutang budi merupakan hutang paling berat. Jika kita kesulitan membalas
budi kepada orang yang sama, balasan itu bisa kita teruskan kepada
orang-orang lain. Artinya kita melakukan kebaikan yang sama kepada orang
lainnya secara estafet.
-
Eling bermakna sebagai pedoman tapa ngrame, melakukan kebaikan tanpa
pamrih. Tidak hanya itu saja, kebaikan yang pernah kita lakukan
seyogyanya dilupakan, dikubur dalam-dalam dari ingatan kita. Dalam
pepatah disebutkan,” kebaikan orang lain tulislah di atas batu, dan
tulislah di atas tanah kebaikan yang pernah kamu lakukan”. Kebaikan
orang lain kepada diri kita “ditulis di atas batu” agar tidak mudah
terhapus dari ingatan. Sebaliknya kebaikan kita “ditulis di atas tanah”
agar mudah terhapus dari ingatan kita.
-
Eling siapa diri kita untuk tujuan jangan sampai bersikap sombong
atau takabur. Selalu mawas diri atau mulat sarira adalah cara untuk
mengenali kelemahan dan kekurangan diri pribadi dan menahan diri untuk
tidak menyerang kelemahan orang lain. Sebaliknya selalu berbuat yang
menentramkan suasana terhadap sesama manusia. Selagi menghadapi situasi
yang tidak mengenakkan hati, dihadapi dengan mulat laku satrianing tanah
Jawi ; tidak benci jika dicaci, tidak tidak gila jika dipuji, teguh
hati, dan sabar walaupun kehilangan.
WASPADA
-
Waspada akan hal-hal yang bisa menjadi penyebab diri kita menjadi
hina dan celaka. Hina dan celakanya manusia bukan tanpa sebab. Semua itu
sebagai akibat dari sebab yang pernah manusia lakukan sendiri
sebelumnya. Hukum sebab akibat ini disebut pula hukum karma. Manusia
tidak akan luput dari hukum karma, dan hukum karma cepat atau lambat
pasti akan berlangsung. Sikap waspada dimaksudkan untuk menghindari
segala perbuatan negatif destruktif yang mengakibatkan kita mendapatkan
balasannya menjadi hina, celaka dan menderita. Misalnya perbuatan
menghina, mencelakai, merusak dan menganiaya terhadap sesama manusia,
makhluk, maupun lingkungan alam.
-
Waspada, atas ucapan, sikap dan perbuatan kita yang kasat mata yang
bisa mencelakai sesama manusia, makhluk lain, dan lingkungan alam.
-
Waspada terhadap apapun yang bisa menghambat kemuliaan hidup
terutama mewaspadai diri sendiri dalam getaran-getaran halus. Meliputi
solah (perilaku badan) dan bawa (perilaku batin). Getaran nafsu negatif
yang kasar maupun yang lembut. Mewaspadai apakah yang kita rasakan dan
inginkan merupakan osiking sukma (gejolak rahsa sejati yang suci)
ataukah osiking raga (gejolak nafsu ragawi yang kotor dan negatif).
Mewaspadai diri sendiri berati kita harus bertempur melawan kekuatan
negatif dalam diri. Yang menebar aura buruk berupa nafsu untuk cari
menangnya sendiri, butuhnya sendiri (egois), benernya sendiri. Dalam
kehidupan bermasyarakat, kita harus mewaspadai diri pribadi dari nafsu
mentang-mentang yang memiliki kecenderungan eksploitasi dan penindasan :
adigang, adigung, adiguna. Dan nafsu aji mumpung: ing ngarsa mumpung
kuasa, ing madya nggawe rekasa, tutwuri nyilakani.
-
Waspada dalam arti cermat membaca bahasa alam (nggayuh
kawicaksananing Gusti). Bahasa alam merupakan perlambang apa yang
menjadi kehendak Tuhan. Bencana alam bagaikan perangkap ikan. Hanya
ikan-ikan yang selalu eling dan waspada yang akan selamat.
Esensi dari sikap eling dan waspada
adalah berfikir, berucap, bersikap, bertindak, berbuat dalam interaksi
dengan sesama manusia, seluruh makhluk, dan lingkungan alam dengan sikap
keluhuran budi, arif dan bijaksana. Mendasari semua itu dengan
“agama universal” yakni cinta kasih sayang berlimpah. Menjalani
kehidupan ini dengan kaidah-kaidah kebaikan seperti tersebut di atas,
diperlukan untuk menghindari hukum karma (hukum sebab-akibat) yang
buruk, dan sebaliknya mengoptimalkan “hukum karma” yang baik. Hukum
karma, misalnya seperti terdapat dalam ungkapan peribahasa ; sing sapa
nggawe bakal nganggo, siapa menanam akan mengetam, barang siapa menabur
angin akan menuai badai. Dalam kondisi alam bergolak, hukum karma akan
mudah terwujud dan menimpa siapapun. Kecuali orang-orang yang selalu
eling dan waspada. Karena kebaikan-kebaikan yang pernah anda lakukan
kepada sesama, kepada semua makhluk, dan lingkungan alam sekitar, akan
menjadi PAGAR GAIB yang sejati bagi diri anda sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar